GEOGRAFI-PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN WILAYAH-PERTEMUAN KE 2
Pembangunan dan pertumbuhan wilayah
Ada segudang pemahaman tentang pembangunan dari berbagai tinjauan keilmuan. Titik temunya adalah satu yaitu, menciptakan perubahan pada masyarakat ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Seperti tampak dari dua definisi berikut;
Pembangunan ialah suatu upaya meningkatkan segenap sumber daya yang dilakukan secara berencana dan berkelanjutan dengan prinsip daya guna yang merata dan berkeadilan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pembangunan berorientasi pada pembangunan masyarakat, dimana pendidikan menempati posisi yang utama dengan tujuan untuk membuka wawasan dan kesadaran warga akan arah dan cita-cita yang lebih baik. Effendi (2002:2)
pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Namun dalam pembangunan dibutuhkan strategi yang jitu. Banyak negara berkembang yang salah atur dalam strategi dan proses pembangunannya, berefek pada terjebaknya negara tersebut pada jurang kemiskinan yang lebih dalam.
Dalam perspektif geografi pembangunan adalah manajemen ruang. Sangat sulit dikejar target pembangunan untuk menghilangkan gap (jarak) antara negara maju dan negara berkembang jika proses pembangunan tanpa menentukan ruang prioritas. ruang prioritas ini yang akan menstimulus, difusi pembangunan pada ruang-ruang di sekitarnya. Dalam istilah ekonomi ini dikenal dengan istilah Trickle-down effect.
The trickle-down effect is a model of product adoption in marketing that affects many consumer goods and services.
Terjemahan dengan Google Translate: Efek menetas adalah model adopsi produk dalam pemasaran yang mempengaruhi banyak barang dan jasa konsumen.
Ini menyatakan bahwa mode mengalir secara vertikal dari kelas atas ke kelas bawah dalam masyarakat, setiap kelas sosial dipengaruhi oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Dua prinsip yang saling bertentangan mendorong dinamika difusi ini. Kelompok sosial yang lebih kecil berusaha untuk menetapkan klaim status baru dengan mengadopsi mode kelompok sosial yang lebih tinggi dalam meniru, sementara kelompok masyarakat yang lebih tinggi merespons dengan mengadopsi mode baru untuk membedakan dirinya sendiri. Ini memprovokasi siklus perubahan yang tiada henti, mendorong mode maju dalam proses inovasi yang berkesinambungan.
Pusat pertumbuhan (growth pole)
Dalam Geografi Pembangunan dikenal istilah Pusat pertumbuhan (growth pole). Pusat pertumbuhan (growth pole) adalah suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhan pembangunannya sangat pesat jika dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah lain di sekitarnya. Jika Anda amati berbagai wilayah di dunia, Anda dapat melihat pertumbuhan wilayah yang berbeda-beda.
Setiap wilayah memiliki potensi yang berbeda-beda. Potensi suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik maupun sosial budaya yang terdapat di wilayah tersebut. Dalam mengidentifikasi potensi suatu wilayah agar menjadi pusat pertumbuhan dapat dilakukan dengan cara menginventarisir potensi utama yang ada di daerah tersebut. Misalnya, Pulau Bali merupakan suatu wilayah yang memiliki potensi utama wisata alam dan sosial budaya. Pulau Bali dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan dengan cara memacu perkembangan sektor lainnya, terutama industri cinderamata, perdagangan, transportasi, perhotelan, dan usaha jasa lainnya. Pada akhirnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya terutama pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang pada awalnya relatif kurang berkembang.
Ada tiga teori untuk menentukan wilayah pusat pertumbuhan, tiga teori ini tampak saling melengkapi.
Teori tempat yang sentral (Central Place Theory)
Tiga teori tempat sentral, yang pertama adalah Teori tempat yang sentral (Central Place Theory) dikemukakan oleh seorang ahli geografi Jerman bernama Walter Christaller. Dalam bukunya Die Zentralen Orte In Suddeutschland (1933), Christaller bermaksud menemukan berbagai dalil atau kecenderungan yang menentukan jumlah, besar, dan penyebaran kota dalam lingkungan. Teori tempat yang sentral merupakan pengembangan teori perkembangan kota yang sebelumnya telah ada, yaitu teori letak industri dari Alfred Webber (1909) dan lokasi pertanian dari von Thunenn (1826). Teori yang dikemukakan oleh Christaller ini bertitik tolak dari letak perdagangan dan pelayanan dalam sebuah kota.
Menurut Chistaller, kota sentral merupakan pusat bagi daerah sekitarnya yang menjadi penghubung perdagangan dengan wilayah lain. Selanjutnya, Christaller menyebutkannya sebagai tempat sentral karena tempat yang sentral tersebut tidaklah semata-mata hanya bergantung kepada aspek permukiman penduduk. Tempat yang ditunjukkan tersebut dapat lebih besar atau mungkin lebih kecil daripada sebuah kota. Apabila sebuah tempat mempunyai berbagai fungsi sentral untuk daerah-daerah di sekitarnya yang kurang begitu penting, daerah tersebut dinamakan tempat sentral tingkat tinggi. Adapun sebuah tempat yang hanya merupakan pusat bagi kegiatan setempat dinamakan tempat sentral rendah atau tingkat paling rendah.
Dalam memahami distribusi barang di tempat sentral, terdapat perbedaan jarak keterjangkauan barang yang dibedakan ke dalam batas atas dan batas bawah. Batas atas adalah jarak terjauh yang harus ditempuh penduduk untuk membeli barang di tempat sentral tertentu. Batas bawah atau nilai minimum adalah jarak sebuah daerah yang dihuni sejumlah minimum orang agar barang tersebut memberikan keuntungan.
Dalam memahami tempat-tempat sentral, haruslah terlebih dahulu melihat jangkauan barang-barang sentral tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa sistem tempat sentral tersebut dikuasai oleh asas pasar. Dalam arti, semua daerah harus dilengkapi dengan barang-barang yang diperlukan dan lokasi tempat-tempat sentral harus sesedikit mungkin.
Selain asas pasar seperti yang telah dijelaskan, penentuan tempat sentral juga sangat dipengaruhi oleh asas pengangkutan dan asas pemerintahan.
Menurut asas pengangkutan, penyebaran tempat-tempat sentral paling menguntungkan apabila terdapat tempat penting terletak pada jalan yang menghubungkan dua kota. Jalan penghubung dua kota ini hendaknya berjarak pendek dan lurus.
Asas pemerintahan lebih ditekankan pada penyatuan dan perlindungan kelompok masyarakat yang terpisah dari ancaman musuh. Oleh karena itu, sebuah tempat sentral ideal menurut asas pemerintahan adalah kota besar yang berada di tengah-tengah kota dan dikelilingi oleh kota-kota satelit dan tak berpenghuni di pinggirnya.
Teori Sektor
Ke-2 yaitu Teori Sektor, Teori penting sebagai pelengkap teori tempat sentral adalah teori August Losch. Dalam bukunya yang berjudul The Economics of Location (1954), Losch menaruh perhatian pada daerah-daerah ekonomi. Losch bertolak dari kesamaan topografi sebuah tempat yang berada di dataran sama seperti apa yang dasar pengembangan teori Christaller dan mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan terbentuknya daerah-daerah ekonomi tersebut. Dalam hal ini, yang paling utama adalah munculnya grafik permintaan. Grafik ini menunjukkan adanya jumlah permintaan yang tinggi, sedangkan di wilayah pinggir permintaannya sedikit. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga akibat naiknya biaya pengangkutan.
Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory)
Yang ke-3, Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory), Teori kutub pertumbuhan atau sering pula disebut teori pusat pertumbuhan kali pertama diperkenalkan oleh Perroux pada 1955. teori ini menyatakan bahwa pembangunan sebuah kota atau wilayah merupakan hasil proses dan tidak terjadi secara serentak, melainkan muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Tempat atau lokasi yang menjadi pusat pembangunan atau pengembangan dinamakan kutub pertumbuhan.
Kota pada umumnya merupakan pusat pertumbuhan yang terus mengalami perkembangan mulai dari pusat pertumbuhan, lalu menjalar dan mempengaruhi daerah sekitarnya atau ke pusat pertumbuhan yang lebih rendah ke arah perkembangan yang lebih besar dan kompleks.
Pusat Pertumbuhan di Indonesia
Konsep pusat pertumbuhan kemudian diadopsi oleh di Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membagi beberapa kota besar di Indonesia yang memiliki letak sentral sebagai pusat pertumbuhan yang terdiri atas empat wilayah, yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar (Ujungpandang). Dari empat wilayah utama tersebut kemudian dibagi lagi menjadi wilayah-wilayah pembangunan dengan pusat-pusat kota yang terdekat.
Wilayah Pembangunan Utama | Pusat Pertumbuhan | Wilayah Pembangunan | Wilayah yang dikembangkan |
A | Medan | I | Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara dengan pusat di Medan |
|
| II | Sumatra Barat dan Riau yang berpusat di Pekanbaru |
B | Jakarta | III | Jambi, Sumatra Selatan, dan Bengkulu dengan pusat di Palembang |
|
| IV | Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY yang berpusat di Jakarta |
|
| V | Kalimantan Barat yang berpusat di Pontianak |
C | Surabaya | VI | Jawa Timur dan Bali yang berpusat di Surabaya |
|
| VII | Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan yang berpusat di Balikpapan dan Samarinda |
D | Ujung Pandang | VIII | Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara yang berpusat di Ujungpandang (Makasar) |
|
| IX | Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara yang berpusat di Menado |
|
| X | Maluku dan Papua yang berpusat di Sorong |
Kebeijakan pusat pertumbuhan Era Orde baru ini kemudian menimbulkan polemik karena menghasilkan gap yang sangat besar antara wilayah pusat dan daerah. pada Era Reformasi pemerintah merubah kebijakan yang dinilai sentralistik, menjadi desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah.
Di Era keninin, sesuai dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018, maka pengembangan wilayah akan ditujukan pada pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Pertumbuhan pembangunan daerah pada tahun 2018 akan didorong melalui pertumbuhan peranan sektor jasa-jasa, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian. Peningkatan kontribusi sektor-sektor tersebut dilakukan seiring dengan terus dikembangkannya kawasan-kawasan strategis di wilayah yang menjadi main prime mover (pendorong pertumbuhan utama) antara lain:
1. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
2. Kawasan Industri (KI);
3. Kawasan Perkotaan (megapolitan dan metropolitan);
4. Kawasan Pariwisata; serta,
5. Kawasan yang berbasis pertanian dan potensi wilayah seperti agropolitan dan minapolitan.
Dari sisi pemerataan pembangunan, kebijakan pembangunan daerah diarahkan untuk pengurangan kesenjangan antar wilayah terutama untuk pembangunan kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, termasuk wilayah perdesaan, daerah tertinggal dan perbatasan.
Kebijakan yang dilakukan adalah dengan mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan infrastruktur serta mendorong peningkatan investasi di wilayah Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan, dan Sumatera; dengan tetap menjaga momentum pembangunan Wilayah Jawa.
Pengembangan wilayah didasarkan pada 7 (tujuh) pengembangan wilayah pulau yang meliputi Wilayah Pulau Papua, Wilayah Kepulauan Maluku, Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara, Wilayah Pulau Sulawesi, Wilayah Pulau Kalimantan, Wilayah Pulau Jawa-Bali dan Wilayah Pulau Sumatera. Sasaran pengembangan wilayah tahun 2018 ditujukan pada pertumbuhan dan pemerataan antarwilayah dengan lebih meningkatkan peran ekonomi wilayah luar Jawa.
Batas wilayah pertumbuhan
Penentuan batas wilayah pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menentukan batas pengaruh dari suatu pusat pertumbuhan terhadap wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Identifikasi untuk menentukan batas wilayah pertumbuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan Teori Gravitasi dan Teori Grafik.
Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan Berdasarkan Teori Gravitasi
Teori Gravitasi kali pertama diperkenalkan dalam disiplin ilmu Fisika oleh Sir Issac Newton (1687). Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah benda yang memiliki massa tertentu akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai gaya gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil kali kedua massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut.
Model gravitasi Newton ini kemudian diterapkan oleh W.J. Reilly (1929), seorang ahli geografi untuk mengukur kekuatan interaksi keruangan antara dua wilayah atau lebih. Berdasarkan hasil penelitiannya, Reilly berpendapat bahwa kekuatan interaksi antara dua wilayah yang berbeda dapat diukur dengan memerhatikan faktor jumlah penduduk dan jarak antara kedua wilayah tersebut, atau sebagai formulasinya yang linier dengan Newton, kekuatan interaksi dua wilayah adalah hasil kali jumlah penduduk dua wilayah berbanding terbalik dengan kuadrat jarak dua tempat tersebut.
Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan Berdasarkan Teori Titik Henti
Teori titik henti (The Breaking Theory) merupakan suatu cara untuk memperkirakan lokai garis batas yang memisahkan pusat-pusat perdagangan dari dua buah kota yang berbeda ukurannya.
Esensi dari teori titik henti adalah bahwa jarak yang lebih kecil ukurannya berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat pandangan itu dan berbanding terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat jumlah penduduk dari wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi dengan jumlah penduduk kota yang lebih sedikit.
Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan Berdasarkan Potensi Penduduk
Indeks potensi penduduk adalah ukuran untuk melihat kekuatan potensi aliran pada tiap-tiap lokasi. Indeks Penduduk (PP) juga dapat mengukur kemungkinan penduduk di suatu wilayah untuk melakukan interaksi dengan wilayah-wilayah lainnya.
Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan Berdasarkan Teori Grafik
Teori Grafik (Graph Theory) dikemukakan oleh K.J. Kansky dalam tulisannya yang berjudul Structure of Transportation Network. Teori ini diterapkan dalam geografi untuk menentukan batas wilayah secara fungsional berdasarkan arah dan intensitas arus atau interaksi antara wilayah inti dan wilayah di luar inti. Menurutnya, jaringan transportasi merupakan salah satu ciri kekuatan interaksi antarwilayah. Dalam hal ini wilayah yang dihubungkan oleh jaringan transportasi yang kompleks cenderung memiliki pola interaksi keruangan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah yang hanya memiliki jaringan transportasi yang sederhana, seperti jaringan jalan yang lurus tanpa cabang.
Nama: sawani
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi ya pak/bu
Nama:Meri andani.
BalasHapusSaya sudah siap membaca mntri yang ibuk kasih
Nama:Nora Agustina
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi tersebut buk.
Nama : Ainur Rahmah
BalasHapusSaya sudah siap membaca Materi nya buk
Nama:Ainul mardiyah
BalasHapusSaya sudh slesai mmbaca mteriny buk
Nama:Cut Lestari
BalasHapusBuk saya sudah siap membaca materi yang diberikan
Nama:Cut Lestari
BalasHapusBuk saya sudah siap membaca materi yang diberikan
Saya sudah siap membaca mteri yg di berikan
BalasHapusNama: wahdil amri
Nama:Rahmatini
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi ya buk
Nama: Sumiyati
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi ya pak/bu
Nama:Mia rahmita
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi ya buk
Nama:visajidah
BalasHapusSaya sudah siap membaca materinya buk
Nama Nailil Hamidi
BalasHapusSaya sudah membaca materi
Nama:Sariani
BalasHapusSaya sudah membaca buk
Nama : miftahul husna
BalasHapusSaya sudah siap membaca materi dari ibuk
Nama: jumadil irham
BalasHapusSaya sudah siap membaca materinya
Selesai
BalasHapusNama:Iwan Rismadi
BalasHapusSaya sudah membaca materi nya